Merentang ingatan ke masa lalu, manakala surau dan langgar belum berganti nama menjadi mushalla. Syahdan, kumandang adzan dari Toa masjid membuyarkan acara nobar tayangan film kartun dari media mainstream satu-satunya saat itu: TVRI. Gerombolan bocah berselempangkan sarung bergegas dengan agak malas mengambil air wudlu dan berjamaah sembahyang magrib. Ya, sembahyang masih popular kala itu ketimbang kata Shalat.
Menunggu Mbah Yai guru ngaji mereka menuntaskan dzikir dan ba’diyah selepas sembahyang, sekumpulan bocah itu berdebat, masih melanjutkan alur cerita film kartun yang tidak selesai ditonton dengan imajinasi masing-masing.
“Batman lawan Superman menang mana?”
Belakangan, pertanyaan itu menginspirasi film Hollywood untuk benar-benar menandingkannya.
Ekstra kurikuler langgar/surau itu menjadi salah satu ekskul bocah-bocah itu selain bermain bola, mencari jangkrik aduan di ladang, perang-perangan, dan mandi di kali.
Sampai suatu ketika, Mbah Yai guru ngaji bocah-bocah itu menceritakan tentang shirothol mustaqim.
“Setiap orang harus melewati titian seutas rambut yang dibelah tujuh, untuk sampai selamat dari jurang neraka menuju pintu surga”
Begitu dahsyatnya kengerian itu menyelimuti imajinasi tentang neraka, sehingga tak satupun sempat terpikir untuk bertanya kenapa dibelah tujuh bukan delapan atau sembilan.
Satu-satunya secercah harapan yang belum sepenuhnya menepis kegalauan bocah-bocah itu terbersit ketika Mbah Yai meneruskan kalimatnya.
“Tetapi orang-orang yang beriman akan dengan mudah meniti titian itu dan dalam sekejap mata menyeberang sampai ke surga”
Tanpa sadar, salah satu bocah itu dengan lugunya asik membayangkan teknik keseimbangan apa yang akan dia pelajari untuk dapat “menipu” gravitasi neraka saat meniti helai rambut yang begitu lembutnya. Awalnya dia mengira dengan ilmu meringankan tubuh seperti film-film shaolin, akan lebih mudah dan lebih cepat untuk melompati saja jurang itu tanpa harus menitinya.
Karena begitu penasaran, bocah itu kemudian memberanikan diri untuk mencoba melintasi jembatan bambu yang biasa dipakai orang-orang tua menyeberangi sungai kecil di pinggir sawah. Jembatan itu hanya berupa sebatang bambu yang melintang menghubungkan kedua sisi tanggul sungai.
Pura-puranya jembatan itu adalah jembatan shirothol mustaqim seperti cerita Mbah Yai. Dengan susah payah meliuk-liuk dengan kedua tangan terentang, ia mencoba untuk tidak terjatuh. Setelah beberapa kali nyaris terjerembab, akhirnya bocah itu berhasil berdiri cukup lama di atas batang bambu dan menitinya tanpa kehilangan keseimbangan.
Tanpa dinyana, angin berhembus menerpa bocah itu, membuat dirinya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Bocah itu terduduk memeluk kedua kakinya di samping tanggul dengan muka kecut. Betapa tidak, usaha kerasnya yang dengan susah payah untuk menemukan posisi keseimbangan itu, begitu mudah dirontokkan oleh hembusan angin lalu.
Pandangannya menerawang jauh ke tanah lapang di depannya, ke arah sekumpulan bocah asyik mengadu gasing yang sedari tadi tidak dia pedulikan. Karena kelelahan dan kecewa dengan usahanya, tanpa sadar pandangannya terbawa hanyut menikmati serunya bocah-bocah itu meneriaki gasing jagoannya. Gasing yang menang adalah gasing yang paling lama berputar, berdiri tegak terhadap sumbunya.
Tiba-tiba bocah itu tersentak seolah tersengat aliran listrik dan sontak berdiri.
“Gasing itu tidak akan mampu berdiri tegak kalau tidak berputar!”
“Jangankan angin, bahkan ketika gasing itu beradu keras dengan gasing yang lain, dengan cepat posisinya kembali tegak terhadap sumbunya dengan berputar”
Matanya berbinar-binar, dan berteriak kegirangan. Bocah itu merasa menemukan sesuatu walaupun dia sendiri tidak dapat benar-benar merumuskan apa yang baru saja telah dia temukan.
“Itu kan hanya kiasan saja. Rekaan Mbah Yai, untuk memberikan penjelasan sederhana yang mudah diterima oleh pikiran anak kecil tentang konsep tujuan akhir dari setiap manusia”, batin bocah yang kini beranjak dewasa itu tersadar dari lamunannya.
Kegelisahannya semakin menjadi-jadi, berdesir-desir ketika lama-lama dia mengenali untaian kristal yang terkemas dalam kiasan Mbah Yai.
Seperti terbersit begitu saja di langit-langit pikirannya, as-shiroth itu menjadi rentang lintasan “berasal dari dan menuju kepada Nya”, yang karenanya manusia selalu meminta petunjuk untuk selalu berdiri tegak lurus. Posisi yang hanya bisa dicapai dengan terus menerus menjaga keseimbangan, layaknya meniti helai rambut dibelah tujuh!
Kelak, bocah itu menyadari dan menemukan kembali bahwa ilmu untuk menjalani kehidupan di dunia ini adalah menjaga keseimbangan posisinya untuk tegak lurus tehadap arasy (Daur 179 – Garis Lurus dari dan ke Titik Qadar). Bahwa untuk memiliki kemampuan dan daya tahan menjaga keseimbangan itu dia harus “berputar”, ya melingkar, ya mengelilingi, ya mengitari, ya berotasi… La ilaaha…illallah
Jalan (shirat) yang lurus (mustaqim) adalah cara hidup. Kehidupan yg lurus, pekerjaan yang lurus, usaha yang lurus, perniagaan yg lurus, memerintah dg hukum yg lurus, bersosialisasi dg etika yg lurus, mendidik dg ilmu yg lurus. Itulah jalan kenikmatan (an’amta ‘alaihim), bukan jalan kemurkaan (mahgdhub) atau jalan yg keliru (dzolin). Tp jalan lurus itu berat, spt melalui titian rambut dibelah tujuh.. banyak tawaran2 menggiurkan: kecurangan (korup), kelicikan, keculasan, kedustaan, dll.
Dan, “Jembatan Shirattalmustaqim” itu menurut kamu ada dimana?. Akhiratmu bagaimana duniamu !!
Insan Mulia Sejahtera